Biografi Singkat KH. Ahmad Dahlan - Bapak Pendiri Muhammadiyah

KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok reformis - modernis khususnya gerakan perubahan dalam bidang agama dan pendidikan. Baginya, Umat Islam memiliki kebutuhan untuk menguasai semua pengetahuan.

Wajib hukumnya bagi umat Islam untuk selalu mencari pengetahuan baru dan tidak menolak pengetahuan yang datang dari pihak manapun termasuk orang Barat.

Pengetahuan yang berkembang di Barat bukanlah tidak baik, namun butuh sentuhan dari Islam sehingga menjadi aktivitas intelektual yang mampu meningkatkan kualitas hidup umat Islam.

Pemikiran itulah yang melandasi perjuanganya semasa hidup melalui organisasi yang didirikan dan dipimpinnya yaitu Muhammadiyah.

Saat ini usia Muhammadiyah telah mencapai lebih dari satu abad. Usia yang tidak muda lagi. Telah banyak pencapaian dan prestasi yang ditorehkan oleh Muhammadiyah untuk kemajuan Bangsa Indonesia.

Tanpa peletakan pondasi-pondasi dasar organisasi yang kuat dari para pemimpin pendahulunya, Muhammadiyah tidak mungkin mampu dan kokoh melewati berbagai tantangan zaman yang datang silih berganti.

Pemikiran dan perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera perlu dipahami dan diteladani oleh masyarakat.

Oleh karena itu, artikel singkat di bawah ini akan bercerita biografi singkat K.H. Ahmad Dahlan sebagai founding father Muhammadiyah. 

Biografi Singkat KH. Ahmad Dahlan


A. Masa Kecil Ahmad Dahlan


Kampung Kauman, Yogyakarta menjadi saksi bisu lahirnya tokoh penting di masa pergerakan nasional yang bernama Muhammad Darwis pada tanggal 1 Agustus 1868. Ia merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dengan Siti Aminah binti Kyai Haji Ibrahim. Secara berurutan mereka adalah : 

  1. Nyai Chatib Arum.
  2. Nyai Muhsinah.
  3. Nyai Haji Sholeh.
  4. Muhammad Darwis.
  5. Nyai Abdurrahman.
  6. Nyai H. Muhammad Fekih.
  7. Muhammad Basir
Ayahnya menjadi abdi dalem Kesultanan Yogyakarta karena menjabat sebagai khatib di Masjid Gede yang bertugas memberikan khotbah Sholat Jum’at secara bergiliran dengan khatib lainnya. 

Kelahiran Muhammad Darwis disambut suka cita oleh Kyai Haji Abu bakar beserta keluarganya karena tiga anak pertamanya adalah perempuan. Muhammad Darwis kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, kreatif dan terampil. 

Foto K.H. Ahmad Dahlan
Foto K.H. Ahmad Dahlan
(Sumber Museum Kebangkitan Nasional)

Muhammad Darwis dididik secara langsung oleh orang tuanya dalam  lingkungan keluarga. Pengetahuan dasar tentang agama dan membaca kitab suci Al Qur’an menjadi materi pelajaran yang pertama kali dipelajari.

Sistem pendidikan di bawah asuhan dan pengawasan orang tua yang dilandasi rasa kasih sayang dan sikap ikhlas, mampu menjadikan Muhammad Darwis sebagai pribadi yang mampu memahami tehnik membaca dan menulis al Qur’an.

Setelah dirasa cukup pengetahuan agamanya, ia diperintahkan oleh ayahnya untuk berangkat menunaikan ibadah haji dan berkat bantuan biaya dari kakak iparnya, Kyai Haji Soleh, Muhammad Darwis berangkat ke Mekkah pada 1883. 

B. Ibadah Haji, Mekkah, dan Pemikiran Pembaharuan


Sehari sebelum keberangkatannya ke Mekkah, masyarakat kampung Kauman berkumpul untuk mendoakan keselamatan Muhammad Darwis selama menjalankan ibadah haji. Keesokan harinya, ia diantar  oleh masyarakat Kauman berangkat menuju stasiun Tugu, Yogyakarta untuk berangkat ke Semarang terlebih dahulu.

Selanjutnya, dari Semarang menuju Singapura, ia menggunakan kapal dagang Tiongkok. Setibanya di Singapura, ia sudah ditunggu oleh Syekh Abdul Kahar untuk menginap dan beristirahat di kampung Jawa yang ada di Singapura sembari menunggu perjalanannya berikutnya.

Kapal Mispil yang berangkat menuju Eropa melalui Aden dan Jedah menjadi alat transportasi selanjutnya yang ia gunakan untuk sampai di Mekkah. Setibanya di Mekkah, ia bersama rombongan haji lainnya diterima oleh para syekh perwakilan Indonesia (pada masa itu, setiap wilayah di nusantara memiliki perwakilan syekh di Mekkah yang bertugas membimbing calon jamaah haji).

Setelah menunaikan ibadah haji, Muhammad Darwis menetap di Mekkah selama 5 tahun untuk memperdalam pengetahuan agama seperti qiraat, tafsir, taukhid, fiqih, tasawuf, ilmu falaq, bahasa arab, dan ilmu yang lainnya. Ia banyak mengkaji kitab-kitab karangan islam pembaharu, seperti :

  • Kitab Taukhid karangan Syekh Mohammad Abduh,
  • Kitab Tafsir Juz Ama karangan Syekh Mohammad Abduh,
  • Kitab Kanzul Ulum dan Kitab Dairotul Ma’arif karangan Farid Wajdi,
  • Kitab Fil Bid’ah karangan Ibnu Taimiyah,
  • Kitab Tafsir Al Manar karangan Sayid Rasyid Ridha,
  • Majalah Al Urwatul Wutsqa

Setelah ia merasa ilmu yang dipelajari di Mekkah sudah cukup, ia memusukan pulang kembali ke Yogayakarta. Sebelum kepulangannya, ia menemui seorang ulama di Mekkah yang bernama Imam Syaf’i Sayid Bakri Syatha untuk diberikan nama Arab (Tradisi pada waktu itu, bagi seseorang yang telah menunaikan ibadah haji maka akan mendapat nama Arab dari ulam di Mekkah).

Ketika kembali ke tanah kelahirannya, Muhamad Darwis mengubah namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan. Gelar Haji di depan namanya menjadikan Ahmad Dahlan semakin rendah hati. Ia menjalani aktfitas sehari-hari dengan mengajar anak-anak tentang agama pada siang dan sore hari di langgar ayahnya. Ketika ayahnya berhalangan hadir memberikan pengajaran kepada orang dewasa, maka Haji Ahmad Dahlan akan menggantikannya. Aktifitas inilah yang menghantarkan dirinya memperoleh gelar Kyai.

Pada 1890 saat sedang berjuang mengembangkan usaha batiknya, ibundanya meninggal dunia dan pada 1896 Kyai Haji Abu Bakar meninggal dunia. Dua peristiwa yang menyedihkan baginya.

Pada 1903 Kyai Haji Ahmad Dahlan berangkat kembali ke Mekkah disertai dengan anaknya Muhammad Siradj yang saat itu masih berumur enam tahun.

Kyai Haji Ahmad Dahlan berusaha memanfaatkan seluruh waktunya untuk mempelajari gerakan-gerakan pembaharuan islam yang sedang dilakukan di banyak negara.

Kyai Haji Ahmad Dahlan belajar secara langsung dari ulama-ulama ternama di Mekkah yang berasal dari Indonesia.

Pada 1906 Kyai Haji Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta disertai dengan tekad dan keyakinan untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran pembaharuan di tanah air.

Kyai Haji Ahmad Dahlan juga menjadi pengajar untuk sekolah Kweekschool di Yogyakarta dan OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) sebuah sekolah untuk pegawai bumi putera di Magelang. Pada saat yang bersamaan sultan juga mengangkatnya menjadi abdi dalem dengan jabatan khatib tetap di Masjid Gede Kauman.

C. Keluarga K.H. Ahmad Dahlan


K.H. Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah pada tahun 1889. Pada waktu istrinya baru berusia tujuh belas tahun. Selanjutnya Siti Walidah lebih dikenal dengan panggilan Nyai Ahmad Dahlan (putri Kyai Fadhil Kamaludiningrat, penghulu di Kraton Yogyakarta). Siti Walidah mendukung semua aktivitas dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Pernikahan kedua pasangan ini dikaruniai enam orang anak, yaitu :

  1. Johanah lahir pada tahun 1890.
  2. Siradj Dahlan lahir pada tahun1889.
  3. Siti Busjro lahir pada tahun 1903.
  4. Siti Aisyah lahir pada tahun 1905.
  5. Irfan Dahlan lahir pada tahun 1907.
  6. Siti Zuharah lahir pada tahun 1908. 
Setelah mendirikan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan menikah lagi dengan 3 orang perempuan yaitu :

  1. R.A.Y Soetidjah Windyaningrum
  2. Nyai Rum (adik Kyai Munawar dari Krapyak)
  3. Nyai Aisyah (adik penghulu ajengan atau penghulu bangsawan dari Cianjur)
Poligami yang dilakukan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan memang sebuah fakta sejarah, namun yang harus dipahami adalah alasan dilakukannya poligami tersebut. Faktor agama dan dakwah menjadi landasan utama Kyai Haji Ahmad Dahlan bersedia melakukan poligami.

Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya melalui usaha berdagang batik. Ia memegang teguh ajaran agama Islam dalam berdagang, sehingga dalam waktu relatif singkat usaha batiknya berkembang dan maju di Yogyakarta dan sekitarnya.

Selain berdagang batik, ia juga memanfaatkan aktifitas itu untuk bersilahturahmi ke masyarakat sambil memberikan dakwah. Dalam kesehariannya itu K.H. Ahmad Dahlan banyak menemui penyimpangan-penyimpang yang dilakukan umat Islam di Yogyakarta dan memberikan masukan agar segera dilakukan pelurusan sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pengajaran K.H. Ahmad Dahlan
pendidikan di pesantren
(Sumber Museum Kebangkitan Nasional)

Tercatat dalam sejarah, ada satu peristiwa dimana K.H Ahmad Dahlan gusar melihat arah kiblat pada langgar dan masjid di Yogyakarta salah. Untuk meluruskannya, ia menggunakan cara persuasif dengan mengadakan pengajian-pengajian orang tua dan membentuk Majelis Musyawarah Ulama. Meskipun demikian, ia pernah diberhentikan dari posisi Khatib Masjid Gede karena kasus arah kiblat yang salah menurutnya. Hukuman itu tidak membuat aktifitas perluasan dakwahnya berhenti.

K. H Ahamd Dahlan dan Muhammadiyah.


Pada tahun 1908 KH. Ahmad Dahlan bersilaturahmi ke priyayi pengurus Boedi Utomo (organisasi bentukan Dr. Soetomo), melalui pertemuan itu ia bertemu dengan Dr. Wahidin Seodirohusodo dan pada tahun 1909 ia resmi menjadi anggota Boedi Oetomo.

Misi utama KK. Ahamad Dahlan bergabung dengan organisasi itu adalah melakukan dakwah kepada para priyayi. Pengalamannya bergabung dengan Boedi Utomo memberikann ia pengetahuan tentang pengelolaan dan maafaat berorganisasi. Fokus perbaikan kondisi pendidikan yang diusung oleh Boedi Utomo selaras dengan apa yang menjadi pikirannya.

Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan dapat menjadi solusi untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu mencetak lulusan yang bisa beradaptasi dengan segala permasalahan dalam masyarakat.

Pada tahun 1911, KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang memberikan pengajaran agama dan pengetahuan umum secara berimbang. Sekolah ini ia beri nama Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah.

Dakwah yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan telah menembus batas-batas wilayah, sehingga banyak yang mendesaknya untuk mendirikan suatu perkumpalan yang dapat menjadi wadah untuk penyebaran pemikiran pembaharuannya.

Dengan dukungan dari berbagai pihak akhirnya pada 18 November 1912, KH. Ahmad Dahlan meresmikan pengurus Muhammdiyah pertama yaitu :

1. Ketib Amin : Kyai Haji Ahmad Dahlan.
2. Penghulu : Abdullah Siadj.
3. Ketib Cendana : Haji Ahmad
4. Kebayan : Haji Muhammad.
5. Carik : Haji Muhamad Pakih.
6. Haji Abdurahman.
7. Raden Haji Sarkawi.
8. Raden Haji Jelani.
9. Haji Anies   

K.H. Ahmad Dahlan beserta Pengurus Muhammdiyah
K.H. Ahmad Dahlan beserta Pengurus Muhammdiyah
(Sumber Museum Kebangkitan Nasional)

Pada 20 Desember 1912 Kyai Haji Ahmad Dahlan mengajukan rechtpersoon surat permohonan peresmian Muhammadiyah sebagai badan hukum dan baru pada 22 Agustus 1914, izin
tersebut diberikan namun hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta.

Perluasan dan pengembangan pemikiran-pemikiran pembaharuan KH. Ahmad Dahlan khususnya dalam bidang agama dan pendidikan semakin meluas serta jumlah anggota Muhammadiyah semakin bertambanh melewati batas-batas wilayah Yogyakarta. Pemerintah kolonial khawatir dengan semakin banyaknya anggota Muhammadiyah maka ia berpontensi untuk melakukan suatu pemberontakan, sehingga pemerintah melakukan pengawasan dan mempersempit ruang aktivitas Muhammadiyah.

KH. Ahmad Dahlan menyarakan kepada para pengurus cabang Muhammdiyah di luar Yogyakarta untuk menggunakan nama lain 

Tujunan Organisasi Muhammadiyah meliputi :

  1. Mengembalikan dasar kepercayaan umat islam kepada Al Qur’an dan Hadist.
  2. Menafsirkan ajaran islam secara modern.
  3. Mengamalkan ajaran-ajaran islam dalam kehidupan bermasyarakat.
  4. Memperbaharui sistem pendidikan Islam secara modern sesuai dengan kehendak dan tuntutan zaman.
  5. Mengitensifkan ajaran-ajaran Islam ke dalam, serta mempergiat usaha dakwah ke luar.
  6. Membebaskan manusia dari ikatan-ikatan tradisionalisme, konservatisme, dan formalisme yang membelenggu kehidupan masyarakat Islam sebelumnya.
  7. Menegakkan hidup dan kehidupan setiap pribadi, keluarga dan masyarakat islam sesuai tuntutan agama

Sejak berdirinya, Muhammadiyah bukanlag organasasi politik namun dalam beberapa kesempatan mereka seringkali memberikan dukungan kepada organisasi lain untuk menentang kebijakan pemerintah kolonial yang dianggap merugikan masyarakat. Contoh seperti saat kebijakan Guru Ordonantie diterbitkan, bersama dengan Ki Hajar Dewantara ia teguh memperjuangkan penghapusan kebijakan itu.


Kweekschool Moehammadijah
Kweekschool Moehammadijah
(Sumber Museum Kebangkitan Nasional)

Konsistensi K.H Ahmad Dahlan dalam gerakan Muhammadiyah memberikan ciri dan bentuk pergerakan yang khas. Ia menunjukkan sikap perlawanan kepada pemerintah koloinal namun tidak menutup diri dengan mengadopsi sesuatu yang baik dari pengaruh Barat untuk kemajuan Bangsa.

Demikian yang dapat saya bagikan kepada sobat terkait Biografi Singkat KH. Ahmad Dahlan. Semoga bermanfaat dan jika ada yang ingin menambahkan atau bertanya langsung tinggalkan jejak kalian di kolom komentar. Terima kasih telah berkunjung.

Salam Historia !

Sumber Referensi :

Nur Khozin dan Isnudi. 2015.Biografi Kyai Haji Ahmad Dahlan (dalam buku K.H. Ahmad Dajlan 1868 - 1923). Jakarta : Museum Kebangkitan Nasional.

LihatTutupKomentar