KH. Agus Salim memiliki segudang kontribusi untuk bangsa Indonesia. Saat masih menjadi anggota Sarekat Islam, ia aktif berpolitik baik di dalam ataupun di luar dewan rakyat (Volksraad) membela hak-hak masyarakat bumiputera. Ketika Indonesia sedang berusaha mendapat pengakuan kedaulatan dari berbagai negara, ia tak pernah lelah untuk terus berdiplomasi.
Kontribusi tersebut tidak lepas dari bakat, ketrampilan, pengetahuan, dan semangat yang ia miliki. KH. Agus Salim dikenal mampu menguasai 9 bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki dan Jepang., selain itu ia juga piawai dalam membawakan pidato yang seringkali mendapat tepuk tangan dari kawan maupun lawan. Bakat dan ketrampilan itulah yang membawanya menjadi Sang Dragoman Indonesia. Untuk menghormati jasa-jasa KH. Agus Salim, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional yang disahkan melalui SK Presiden RI No. 657/1961.
Sesuatu yang menarik untuk dibahas mengenai riwayat hidup seorang KH. Agus Salim. Banyak hal yang dapat kita petik dan pelajari dari dirinya, sehingga pada tulisan singkat di bawah ini, saya akan memberikan gambaran kehidupan dan perjuangan KH. Agus Salim.
Biografi Singkat KH. Agus Salim
Sejak dilahirkan Agus Salim bernama Mashudul Haq yang berarti pembela kebenaran. Ia lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Bukit Tinggi, Minagkabau. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab.
Nama Agus yang banyak dikenal masyarakat, diperoleh dari panggilan sehari-hari yang sering diucapkan oleh pengasuhnya semasa kecil yang berasal dari Jawa. Tradisi orang Jawa jika menyebut anak majikannya dengan sebutan 'Den Bagus' atau pendekanya "Gus" pada akhirnya diikuti oleh keluarga, tetangga-tetangganya, lingkungan sekolah, hingga guru-gurunya.
Foto KH. Agus Salim (sumber : news.detik.com) |
Nama Agus yang banyak dikenal masyarakat, diperoleh dari panggilan sehari-hari yang sering diucapkan oleh pengasuhnya semasa kecil yang berasal dari Jawa. Tradisi orang Jawa jika menyebut anak majikannya dengan sebutan 'Den Bagus' atau pendekanya "Gus" pada akhirnya diikuti oleh keluarga, tetangga-tetangganya, lingkungan sekolah, hingga guru-gurunya.
Ayahnya berprofesi sebagai jaksa agung di pengadilan tinggi Riau. Posisi ayahnya sebagai Ambtenaar membuka peluang dirinya untuk bisa mengenyam pendidikan barat semasa kecil. Pendidikan awal yang ditempuhnya di ELS (Europeese Lagere School) dan HBS (Hogere Burger School) di Jakarta.
Agus Salim dikenal sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Meski berstatus anak seorang jaksa pengadilan tinggia Riau, ia sama sekali tidak membeda-bedakan dalam bergaul baik di lingkungan sekitar rumah maupun di sekolah. Hal inilah yang membuatnya digemari dan disenangi oleh kawan-kawannya dan guru-gurunya.
Agus Salim juga dikenal sebagai pembelajar yang rajin, meski lingkungan sekitarnya seringkali menjadi hambatan bagi dirinya untuk belajar. Kondisi berisik dari lingkungan sekitarnya membuatnya harus naik ke atap rumah untuk belajar menghabiskan materi pelajaran hari ini dan mempersiapkan materi belajar di sekolah untuk keesokan hari.
Bakat dan etos belajar itulah yang membuat seorang Jan Brouwer, orang Belanda yang revolusioner, tertarik untuk membimbing Agus Salim secara pribadi. Ayahnya tertarik dengan tawaran Brouwer, namun berusaha berkompromi dengan memperbolehkan Agus Salim berguru kepada Brouwer seusai jam sekolah hingga saat makan malam.
Agus Salim dikenal sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Meski berstatus anak seorang jaksa pengadilan tinggia Riau, ia sama sekali tidak membeda-bedakan dalam bergaul baik di lingkungan sekitar rumah maupun di sekolah. Hal inilah yang membuatnya digemari dan disenangi oleh kawan-kawannya dan guru-gurunya.
Masa Kecil Agus Salim
Agus Salim juga dikenal sebagai pembelajar yang rajin, meski lingkungan sekitarnya seringkali menjadi hambatan bagi dirinya untuk belajar. Kondisi berisik dari lingkungan sekitarnya membuatnya harus naik ke atap rumah untuk belajar menghabiskan materi pelajaran hari ini dan mempersiapkan materi belajar di sekolah untuk keesokan hari.
Bakat dan etos belajar itulah yang membuat seorang Jan Brouwer, orang Belanda yang revolusioner, tertarik untuk membimbing Agus Salim secara pribadi. Ayahnya tertarik dengan tawaran Brouwer, namun berusaha berkompromi dengan memperbolehkan Agus Salim berguru kepada Brouwer seusai jam sekolah hingga saat makan malam.
Pada tahun 1903, Agus Salim terlah berhasil menyelesaikan pendidikan di HBS. Ia berencana melanjutkan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi dengan jalur beasiswa, namun ia mengalami kegagalan. Berita ini terdengar oleh R.A. Kartini yang secaa kebetulan baru saja membatalkan rencana beasiswa yang diterimanya dari pemerintah kolonial Belanda karena alasan pribadi dan tradisi. R.A Kartini menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan beasiswa itu kepada Agus Salim, namun rencana itu ditolak oleh Agus Salim karena ia mengingikan pemerintah kolonial sendiri yang berinisiatif memberikan beasiswa itu kepadanya.
Dari Penterjemah, Konsulat hingga Pimpinan Redaksi
Agus Salim memulai karir awalnya sebagai seorang penterjemah bahasa, lalu dilanjutkan menjadi pembantu notaris. Menginjak umur 21 tahun, ia memutuskan merantau ke Indragiri untuk bekerja di pertambangan. Di saat yang bersamaan ia mendapat tawaran dari pemerintah kolonial untuk menjadi seorang konsul Belanda di Jeddah dengan tugas mengurus para jamaah haji Indonesia di Arab.
Tawaran itu sempat ditolak oleh Agus Salim, karena pada waktu yang bersamaan ibundanya sedang sakit keras dan ia menganggap jika tawaran itu dterima akan menambah derita ibundanya. Namun tidak lama kemudian ibundanya meninggal dunia dan tawaran itu diterimanya dengan catatan ia bekeja di Jeddah untuk memnuhi pesan terakhir ibundannya.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Agus Salim. Berbekal modal rajin membacanya, ia memanfaatkan masa menjabat sebagai konsul Belanda di Jeddah untuk memperdalam ilmunya tentang ajaran agama Islam. Ia paham betul untuk melakukannya maka ia harus menguasai bahasa Arab. Dengan dibantu dan dibimbing oleh saudara sepupunya, Syekh Akhmad Khatib, yang menjadi ulama di Mekkah, proses pendalaman ajaran agama Islam yang dilakukan Agus Salim berjalan lancar.
Berbagai buku pembaharuan ajaran Islam dibacanya, salah satunya adalah karangan Jamaluddin Al Afghani. Ia juga tidak membatasi dirinya untuk mempelajari agama yang berbeda untuk mempertebal keyakinannya atas agama Islam. Setelah lima tahun lamnya ia telah fasih berbahasa Arab dan pada tahun 1911 ia kembali pulang ke Indonesia.
Agus Salim di Sarekat Islam, Volksraad, BPUPKI dan PPKI
Setibanya di Jakarta, ia bekerja di Departemen Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan Departemen Burean Voor Openbare Warhen (Departemen Pekerjaan Umum). Namun masa kerja hanya 9 bulan dan ia memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya itu.
Pada tahun 1912, Ia kembal ke tanah kelahirnya dan menikahi Zainatun Nahar. Tidak lama setelah pernikahnnya, Agus Salim mendirikan HBS (Hollands Inlandse School), sekolah yang diperuntukkan untuk anak-anak bumiputera yang direncanakan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan. Melalui aktivitas ini ia berusaha menanamkan bibit kebangsaan kepada generasi penerus. Namun setelah tiga tahun berlalu mendidik di HBS, ijin mengajar yang telah diajukan kepada pemerintah kolonial ditolak. Para ahli berpendat jika, alasan penolakan ijin tersebut dikarenakan alasan diskriminatif dari pemerintah kolonial.
Pada tahun 1915, ia kembali merantau dan yang ditujunya adalah Pulau Jawa. Pada saat itu kebetulan Jawa sedang mengalami gejolak politik dari beberapa organisasi pergerakan nasional khususnya Sarekat Islam. Organisasi pimpinan HOS Tjokroaminoto dicurigai akan melakukan pemberontakan.
Untuk mencegah terjadinya pemberontakan pemerintah kolonial melalui Datuk Tumenggung, seorang penasehat pemerintah urusan Bumi Putera, mengusulkan Agus Salim untuk mencari informasi tentang Sarekat Islam dan Tjokroaminoto. Hal ini menjadi titik awal pertemuan dirinya dengan organisasi dan dunia politik. Karir Agus Salim di Sarekat Islam terbilang cepat, karena tidak lama setelah ia resmi bergabung, ia dianggkat menjadi petinggi Sarekat Islam bersama Tjokroaminoto dan Abdul Muis.
Salah satu tujuan SI ialah kelak Indonesia dapat memmpunyai kebangsaan yang bercorak Islam. Oleh karena itu, pada tahun 1917 diterbitkan Harian Neraca, Harian ini sangat berpengaruh di Indonesia, dan Agus Salim terpilih sebagai redaktur II. Kemudian diangkat menjadi ketua redaksi.
Selain itu ia juga mejadi pimpinan redaksi Bahasa Melayu pada Komisi Bacaan Rakyat di Balai Pustaka, Jakarta. Agus Salim menjadikan kedua surat kabar itu sebagai alat untuk menyadarkan masyarakat bumi putera akan kondisi kesengsaraan yang mereka alami saat ini dikarenakan penjajahan bangsa Belanda. Perjuangan Sarekat Islam semakin meluas ketika Agus Salim diangkat menjadi pimpinan redaksi Bataviaasch Nieuwsblad di Jakarta dan menjadi sekretaris persatuan kaum buruh.
Pada tahun 1921 - 1924, Agus Salim duduk di kursi dewan rakyat (Volksraad) mewakili Sarekat Islam, namun akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri karena merasa banyak keputusan yang telah dihasilkan oleh Volksraad, tidak dijalankan oleh pemerintah kolonial sehingga membuatnya beranggapan jika strategi perjuangan kooperatif tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Pada waktu yang bersamaan, sedang terjadi perpecahan dalam tubuh internal Sarekat Islam, di mana terdapat dua kubu (kiri dan kanan) yang sedang berseteru. Mereka yang berhaluan Islam Kiri dipimpin oleh Semaun, Darsono dan Muhammad Kasan. Untuk mengatasi perpecahan ini akhirnya Agus Salim memecat mereka. Hal ini menunjukkan ketegasan sikapnya dalam kepemimpinannya.
Pada masa mendekati perang dunia II sekitar tahun 1940-1942, Agus Salim tidak terlalu semangat dalam dunia pergerakan nasional. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memberikan pidato dan dakwah tentang agama, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Kondisi ini berlanjut sampai masa-masa awal pendudukan Jepang.
Sampai akhirnya Soekarno dan Moh. Hatta berhasil membujuknya untuk ikut terlibat kembali dalam upaya anak-anak bangsa merebut kemerdekaan dari Jepang. Agus Salim pun terlibat kepimpinan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) bersama Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mansyur.
Ketika pendudukan Jepang akan berkahir, Agus Salim tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyidik Umum Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kemudian ia juga menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Bersama panitia kecil PPKI, Agus Salim terlibat diskusi antara kubu nasionalisme sekuler dan nasioanalisme Islam untuk kepentingan besar Bangsa Indonesia, yaitu merumuskan dasar-dasar negara dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Perdebatan itu khususnya mengenai redaksi pada sila Ketuhanan Yang Maha dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Agus Salim dalam hal ini menyampaikan pandangannya dan mempertanyakan tentang gagasan Pasal-Pasal tersebut. Ia kemudian mengeluarkan pendapat sekaligus bertanya, apabila seorang presiden itu harus orang islam, nah bagaimana dengan wakil presiden beserta menteri dan duta-duta besar negara Indonesia. Dengan demikian, adakah jaminan dan sekaligus janji kita bersama sebagai bangsa Indonesia untuk saling melindungi agama lainnya.
Senada dengan yang disampaikan Agus Salim, terjadi penolakan di beberapa wilayah Indonesia, khususnya wakil-wakil Protestan dan Katholik. Pada akhirnya Agus Salim dan kelompok Islam mau untuk berkompromi, tidak memandang Islam adalah eksklusif dan menyutujui Pancasila sebagai dasar negara.
Hasil rapat PPKI itu tidak dapat disimpulkan jika Agus Salim beserta mereka menyetujuinya sebagai kelompok yang anti Islam. Lebih dari itu mereka mengedepankan kepentingan besar Indonesia sebagai bangsa yang besar dan majemuk. Hal ini juga menandakan jika Agus Salim memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Kehidupan Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1946, ia tunjuk menjadi juru bicara Perdana Menteri Sutan Syahrir menghadapi Belanda dalam meja peruningan. Kemudian berturut ia menjadi Menteri Muda Luar Negeri, kemudian Menteri Luar Negeri Kabinet Syahrir II & III (1946-1947), Kabinet Amir Syarifuddin (1947), hingga Kabinet Hatta (1948-1949).
agus salim bersama sutan syahrir (sumber : padangkita.com) |
Agus salim tetap mengabdi bagi bangsa Indonesia dengan menjadi pembicara dan dosen baik di dalam maupun di luar negeri sampai akhir hayatnya pada tanggal 4 November 1954. Kepergiannya menimbulkan duka yang mendalam bagi Indonesia dan dunia luar pun ikut berduka. Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaiknya.
Demikian yang dapat saya bagikan kepada sobat terkait Biografi KH. Agus Salim - Sang Dragoman Indonesia. Semoga bermanfaat bagi proses belajar sejarah sobat dan terima kasih atas kunjungannya.
Salam Historia.