Historiografi : Pengertian, Perkembangan, Macam-Macamnya dan Strategi Penulisanya.

Historiografi merupakan tahapan akhir dalam penelitian sejarah. Jika penelitian sejarah bertugas merekonstruksi sejarah masa lampau, maka rekonstruksi itu akan tampak apabila hasil penelitian tersebut di tulis.
Historiografi : Pengertian, Perkembangan, Macam-Macamnya dan Strategi Penulisanya

Historiografi (penulisan sejarah) memegang peranan penting dalam hasil akhir suatu tulisan sejarah. Sejarawan yang gagal dalam menuliskan hasil penelitiannya maka akan beresiko kehilangan makna sumber-sumber dan bukti-bukti sejarah yang selama ini telah dikumpulkan, dipelajari dan dikaji olehnya dengan jerih payah.

Oleh karena pentingnya pemahaman penulisan sejarah maka pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba berbagi pengetahuan yang saya ketahui tentang Historiografi.

Pengertian Historiografi


Penulusuran akan arti historiografi dapat dilacak dari asal - usul katanya (etimologis), arti secara umum dan pendapat para ahli sebagai berikut :

Pengertian Secara Etimologis

Secara etimologis (tinjauan asal-usul kata), Historiografi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Historia dan Grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam fisik dan Grafein berarti gambaran, lukisan, tulisan atau uraian.

Dalam perkembangannya, kata Historia dan Grafein diserap ke dalam Bahasa Inggris, selanjutnya dikenal dengan istilah Historigraphy yang berarti “a study of historical writing” (pengkajian tentang penulisan sejarah).

Pengertian Secara Umum


Secara umum, historigrafi dipahami sebagai kajian karya-karya sejarah yang telah ditulis atau dapat diartikan juga sebagai sejarah dari penulisan sejarah, yang dimaksud adalah perkembangan penulisan sejarah dari masa ke masa.

Pengertian Menurut Para Ahli

Berikut pendapat para ahli sejarah tentang historiografi yang dapat saya kumpulkan : 
Soedjatmoko : “Historiografi atau penulisan sejarah dalam ilmu sejarah merupakan titik puncak dari kegiatan penelitian oleh sejarawan. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan bagian terakhirnya.Langkah terakhir,tetapi langkah tersebut adalah langkah terberat." 
Helius Sjamsudin : “Historiografi sebagai suatu sintesis, dibuat oleh sejarawan melalui seluruh hasil penelitiannya dalam penulisan sejarah yang utuh."
Louis Gottschalk : Historiografi sebagai bagian terakhir dari prosedur metode sejarah yang di artikan sebagai “Rekonstruksi imajinatif tentang masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses menguji,dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau”

Sejarah Perkembangan Historiografi


Setiap bangsa memiliki sejarah perkembangan historiografinya masing-masing, namun awal lahirnya historiografi di setiap bangsa berbeda-beda. Hal ini dikarenakan awal mengenal tulisan di setiap bangsa tidak sama.

Masa Yunani


Penelusuran embrio lahirnya ilmu sejarah dapat ditelusuri melalui sejarah historiografi eropa. Tulisan-tulisan sejarah pertama kali muncul dalam bentuk puisi karya Homerus (Homer) berjudul Illiad dan Odyssey. Keduanya tidak lebih dari epos biasa, tetapi setelah Heinrich Schlieman mengadakan penggalian di situs Troya membuktikan "kesejarahan" dari epos tersebut.

Syair Illiad lebih menceritakan tentang peperangan antara orang-orang Yunani melawan orang-orang Troya, karena Paris putra Raja Troya melarikan Helen istri Raja Sparta pada 1200 SM, sedangkan syair Odyssey bercerita pengembaraan Odysseus setelah Troya jatuh, la kembali ke Ithaca (Yunani) dan membalas dendam terhadap bangsawan-bangsawan yg merebut tahtanya. 

Selanjutnya muncul sejarawan Yunani terkenal lainnya yaitu Herodotus (198-117 SM) dengan karyanya History of the Persian Wars (Sejarah Perang-perang Persia 500 SM), Thucydides (456-396 SM) penulis The Peloponnesian War (431-404 SM), dan Polybius (198-117 SM) yang menulis Punic Wars (264–146 SM).

Melalui karyanya, Herodotus mendapat julukan "Bapak Sejarah", karena meski ia menganggap jika bangsa Persia adalah bangsa "barbar" yang dibencinya, namun ia tetap mencoba bersikap obyektif dengan mencoba kritis dengan penjelasan yang wajar alami (naturalistik) dari kejadian-kejadian, memisahkan kebenaran dan kepalsuan. Ia jarang merujuk pada campur tangan Tuhan atau Dewa. Ia melihat peperangan ini sebagai bentrokan antara dua kebudayaan / peradaban yang berbeda, yaitu Yunani dan Persia.

Thucydides dianggap sebagai sejarawan dalam arti yang sebenarnya karena ia mencoba mencari sebab dari peristiwa-peristiwa sejarah. Karyanya The Peloponnesian War yang menceritakan perang saudara yaitu antara dua negara-kota Athena dan Yunani. Dalam tulisannya ia juga menyelipkan pidato-pidato yang diucapkan oleh pelaku-pelaku sejarahnya. Segala intervensi Tuhan / Dewa tidak tampak dalam karyanya.

Sedangkan Polybius, meski lahir di Yunani, namun ia besar di Roma. Karena ia tinggal di dua tempat, membuatnya menyadari saling ketergantungan antara Yunani dan Romawi. Polybius dikenal sebagai sejarawan yang mengkaji tentang perpindahan kekuasaan ke tangan Yunani ke Romawi. Sama seperti Thucydides, ia juga melihat jika sejarah itu pragmatis.

Masa Romawi


Sejarah awal perkembangan historiografi pada masa Romawi banyak dipengaruhi oleh Yunani. Hal ini tunjukkan dengan masih digunakannya model Yunani dalam penulisan sejarah pada masa Romawi. Awalnya bahasa yang digunakan juga bahasa Yunani baru kemudian beralih ke bahasa Latin.

Sejarawan terkenal di masa Romawi sebut saja Julius Caesar (100-44 SM) dengan karyanya Commentaries on Gallic Wars, Titus Livius (59-17 SM), penulis Ab Urbe condita Libri, dan Tacitus (55-20 SM) yang menulis Annals Histories.

Julius Caesar, seorang jendral yang menaklukkan Gaul, dalam karyanya lebih menekankan objektifitas, kejelasan dan ketepatan yang tinggi.

Sedangkan Titus Livy, karyanya dalam bentuk prosa mengenai pertumbuhan Romawi sebagai sebuah empirium dunia, mengagungkan Romawi, menghidupkan kebanggaan nasional, inspirasi semangat patriotisme dan menghidupkan moral orang-orang Romawi dengan mengorbankan kebenaran demi retorika.

Berbeda halnya dengan Tacitus, bobot tulisannya dapat diibaratkan di tengah-tengah antara Livius yang retoris dan Polybius yang cenderung faktual sejarah.

Masa Abad Pertengahan

Sejak kemenangan Kristen di Eropa, tradisi Yunani yang berlanjut pada masa Romawi menjadi terhenti. Historiografi Yunani-Romawi dianggap terlalu bertumpu pada akal dan mengabaikan peran agama juga supranatural, sehingga perlu adanya pembaharuan dalam bidang historiografi yang menekankan aspek teologi dan agama.

Pada masa ini pusat penulisan sejarah terdapat di gereja dan Negara dengan pendeta dan raja sebagai pelaku utamanya. Perkembangan historiografi pada masa Kristen tebagi menjadi 2 yaitu masa Kristen awal dan Kristen Pertengahan.

Pada masa Kristen awal, terdapat beberapa nama sejarawan yang mempunyai peran penting dalam perkemabangan historiografi sebagai berikut :
  • Augustine (354-430 M) dengan bukunya berjudul The City of God merupakan filsafat sejarah Kristen yang bertumpu agama dan rasionalisme.
  • Africanus (180-250 M), dengan karyanya Chronographia menceritakan "penciptaan" yang mengambil dari Yahudi, Yunani, dan Romawi.
  • Eusebius (260 - 340 M), menulis Chronicle dan Chruch History yang memisahkan antara kelompok sacred yaitu Yahudi dan Kristen, dengan kelompok profane yaitu pagan atau kafir.
  • Orosius (380 - 420 M) menulis Seven Book Against the Pagans, karya yang menunjukkan pembelaan terhadap Kristen yang dituding sebagai penyebab runtuhnya Romawi.
Sedangkan pada masa Kristen Pertengahan bermunculan pula nama sejarawan dengan karyanya seperti Marcus Aurelius Casiodorus (480 - 570 M), Procopius (500-565 M), Gregory atau Bishop Tours (538-594 M), dan Venerable Bede (672-735 M). Nama Bede menjadi terdepan diantara lainya karena karyanya Ecclesiastical History of the English People, terlihat lebih obyektif dengan menggunakan banyak sumber.

Masa Renaissance, Reformasi dan Kontra Reformasi


Masa Kristen akhir sering disebut juga masa awal Renaissance. Dengan semakin pulihnya keamanan dan perdagangan di Eropa menjadi pertanda berakhirnya abad pertengahan pada abad ke-15, untuk memasuki era Rennaisance.

Pada masa ini semangat pagan dan dan kebudayaan klasik Yunani-Romawi dijadikan sebagai model. dengan penekanan teologi yang dogmatis tidak lagi menjadi fokus pendekatan dan digantikan oleh ilmu.

Sejarawan yang namanya banyak disebut pada masa ini adalah Lorenzo Valla (1407 - 1457) dengan karyanya The History of Ferdinand I of Aragon bercerita tentang pembuktian kaisar Konstantinus telah memberikan hak politik kepada paus adalah tidak palsu. Keberaniannya dalam memberikan kritik merupakan satu langkah yang maju pada waktu itu. Kemudian disusul oleh Guicciardini yang menulis tentang History of Florence yang merupakan sejarah politik yang rasional.

Dekonstruksi terhadap historiografi Abad pertengahan berlanjut pada masa "Reformasi". Hal ni tercermin dari karya Illyrics (1520 - 1575) yaitu Magdeburg Centuries yang merupakan sejarah polemik. Buku ini banyak dikecam oleh gerakan "kontra Reformasi" yang berupaya menegakkan kembali kewibawaan gereja Katholik yang dinilai telah dirusak oleh gerakan reformasi. Buku berjudul Eccelesistical Annals karya Baronius (1538 - 1607) merupakan jawaban atas Magdeburg Centuries.

Masa Rasionalisme ke Liberalisme


Sekitar abad ke-17 hingga ke-18, penulisan sejarah yang menggunakan model Yunani dengan kekuatan retorikanya dalam upaya pengungkapan kebenaran sejarah masih seringkali nampak. Hal ini didukung oleh banyaknya sejarawan dunia dengan karya monumentalnya yang lahir pada masa rasionalisme.

Terdapat tiga aliran yang berkembang pada masa ini. Pertama, aliran rasionalisme dipelopori oleh Voltaire. Kedua, aliran moderat dipimpin oleh Montesquieu, dan ketiga,  aliran sentimentil yang dipelopori oleh J.J. Rousseau.

Ketiganya memiliki tujuan yang sama yaitu ingin membebaskan masa rasionalisme dari depostisme. Namun ketiganya berbeda dalam cara yang ditempuh. Jika Voltaire sangat intelektual dan tegas. sedangkan Rousseau sangat emosional. Bila di Perancis kental dengan revolusioner maka Inggris puas dengan perkembangan Institusional (intelektual dan moral) yang diprakarsai oleh David Hume.


Alexander Irwan menjelaskan jika historiografi sebelum abad ke-19, pendekatan sejarahnya bercampur aduk dengan narasi yang bersifat metafisis dan mitis. Heder (1744-1803), penulis buku Ideas for the Philosophy of the History of Humanity, percaya bahwa kemajuan sejarah itu dicapai berkat kerjasama antara faktor eksternal dan semangat (geist) yang subjektif. Sedangkan Hegel, penulis Philosophy of History, percaya jika sejarah itu bergerak maju dengan cara dialektis.

Historiografi pada abad ke-19 ditandai dengan beberapa ciri yang cukup menonjol, antara lain:
  1. Penghargaan kembali pada Abad Pertengahan. 
  2. Munculnya liberalisme, 
  3. Munculnya filsafat sejarah, dan 
  4. Nasionalisme.

Abad 19 selain melahirkan Leopold von Ranke yang dianggap sebagai bapak sejarah science, juga melahirkan banyak pemikir-pemikir sejarah (filsafat sejarah) yang berpengaruh pada perkembangan teori dan metode sejarah pada tahun-tahun berikutnya.

Misalnya Georg Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) yang menulis buku Philosophy of History. Dalam bukunya itu ia berpendapat bahwa sejarah itu maju dengan cara dialeksis. Heinrich Karl Marx (1818-1883) memakai dialektika Hegel, dengan proletariat sebagai sarana pembebasan manusia.

Selain Karl Max, Pengaruh filsafat sejarah Hegel ini antara lain nampak pada karya Francis Fukuyama, The End of History and The Lasi Man yang terbit pertama kali pada tahun 1992.

Menjelang akhir abad ke-19 kebenaran yang dikemukakan oleh Ranke mulai diragukan, sebab menulis sejarah "sebagaimana yang terjadi dinilai bertentangan dengan psikologi. Tokoh yang mempertanyakan kebenaran sejarah Ranke adalah Becker (1873-1945), pemujaan terhadap fakta hanyalah ilusi. Sementara itu James Harvey Robinson (1863-1936) mengatakan bahwa sejarah kritis kita hanya dapat menangkap "permukaan", tidak dapat menangkap realitas di bawah dan tidak dapat memahami perilaku manusia.

Oleh karena itu muncul perspektif baru dalam penulisan sejarah, tidak seperti Ranke yang terlalu menekankan kritik sejarah, maka penulisan sejarah baru lebih menekankan penggunaan ilmu-ilmu sosial. Pada perkembangannya nanti perspektif baru ini sering disebut sejarah sosial.

Perkembangan Historiografi di Indonesia


Penulisan sejarah atau historiogarfi di Indonesia bisa dilacak sejak masa kerajaan Hindu - Budha. Seperti Abad Pertengahan di Eropa, awal perkembangan historiografi di Indonesia lebih banyak diwarnai karya yang sarat dengan mitos-mitos seperti Pararaton, Negara Kertagama, Hikayat Tanah Hitu, Babad Tanah Jawi. Oleh karen itu banyak sejarawan yang menilai karya tersebut tidak pantas dijadikan referensi penelitian sejarah ilmiah.

Namun dalam perkembangannya mulai banyak sejarawan yang mengkaji kembali karya historiografi tradisional Indonesia, sebut saja Yasadipura (1729-1805) yang menulis Babad Giyanti. Kemudian Pangeran Diponergoro yang menulis Babad Diponegoro pada tahun 1835.

Sejak kedatangan bangsa barat di Indonesia atau dapat dikatakan masa kolonial, karya historiografi di Indonesia lebih banya didominasi oleh orang-orang Belanda / Barat. Hal ini dapat dimengerti karena mereka telah memiliki tradisi yang cukup lama dalam penulisan sejarah. Sebut saja karya Sir Thomas Raffles yaitu History of Java yang terbit pada 1817.

Studi sejarah yang kritis di Indonesia mulai dikembangkan pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Husein Djajadinigrat dengan karyanya Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten pada tahun 1913. Kemudian disusul oleh saudaranya, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dengan karyanya Herrineringen van Pangran Aria Aehmad Djajadiningrat.

Memasuki tahun 1920, dimana semangat nasionalisme mulai berkembang di Indonesia, maka dibutuhkan pula karya-karya yang mampu membangkitkan rasa nasionalisme atau dapat dikatakan sejarah yang Indonesia sentris. Namun pada kenyataan keinginan itu sulit untuk diwujudkan. Hal ini dikarenakan masih sedikit orang-orang Indonesia yang secara aktif terlibat dalam politik pada masa itu.

Sejak Indonesia memperoleh kemerdekaannya, barulah historiografi yang indonesia sentris bisa diwujudkan. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya karya sejarah yang mengangkat biografi tokoh-tokoh maupun pahlawan nasional seperti Teuku Umar, Imam Bonjol, Pattimura, Nuku, dan Diponegoro.

Namun karya-karya tersebut sulit dipertanggung jawabkan karena kurangnya penguasaan akan metode sejarah teknis Oleh karena itu banyak sejarawan asing yang mempertanyakan obyektifitas dari sejarah yang Indonesia sentris.

Pada tahun 1966, Sartono Kartodidjo melalui karyanya Pemberontakan Petani Banten berusaha menjawab keraguan itu. Sartono menawarkan pendekatan dan perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia yang dikenal dengan sejarah sosial.

Meskipun penggunaan ilmu-ilmu sosial mulia diperkenalkan di Indonesia tetap saja dalam perkembangannya, penulisan sejarah politik khususnya masa pendudukan Jepang dan Revolusi Indonesia  masih mendominasi.

Seperti karya A. H. Nasution Sekitar Perang Kemerdakaan Indonesia yang terdiri dari 11 jilid. Kemudian Karya Nugroho Notosusanto, Tentara Peta pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia.

Begitupula pada sejarawan barat yang mengkaji sejarah Indonesia lebih banyak memfokuskan karyanya seputar sejarah politik, seperti George Mc T Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1970) lalu Benedict Anderson dengan karyanya Java in a Time of Revolution : Occupation and Resistance 1944 - 1946, terbit pada 1972.

Memasuki tahun 1977, terbit buku babon sejarah nasional Indonesia yang terdiri dari 6 jilid yang diteribtkan oleh Balai Pustaka. Buku ini merupakan karya bersama sejarawan mashyur di Indonesia seperti Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto.

Buku SNI ini mendapat banyak kritikan dan keprihatinan dari segi metode dan data faktual yang digunakan, sehingga munculnya gerakan untuk menulis sejarah nasional sejenis yang lebih baik. Gerakan ini dimotori oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah dan Prof. A.B. Lapian, rencananya buku ini akan terdiri dari 8 jilid dengan tambahan satu jilid.

Macam-Macam Historiografi


Bila ditinjau dari periodesasi atau pengurutan waktu penulisan karya sejarah di Indonesia, maka diperoleh 3 macam historiografi sebagai berikut :

1. Historiografi Tradisional


Historiografi Tradisional adalah tulisan sejarah yang ditulis oleh para sastrawan, pujangga, atau bangsawan semasa kejayaan kerajaan di Indonesia (Kerajaaan Hindu-Budha hingga Islam).

Contoh tulisan sejarah pada masa ini seperti Kitab Negarakertagama, Kitab Pararaton, dan Babad Tanah Jawi di masa kerajaan Hindu Budha. 

Sedangkan contoh tulisan sejarah di masa kerajaan Islam adalah hikayat raja-raja Pasai, Babad Demak dan Babad Giyanti.

2. Historiografi Kolonial


Historiografi Kolonial adalah tulisan sejarah yang ditulis oleh orang-orang Eropa sejak datang hingga runtuhnya kekuasaan negara kolonial di bumi Indonesia. 

Contoh historiografi kolonial adalah History of Java I dan II karya Thomas Raffles dan Oud en Neiuw Soerabaia karya Von Faber.

3. Historiografi Moderen


Historiografi Moderen lahir untuk menjawab berbagai kekurangan dan kritik akan bentuk historiografi yang mendahuluinya. Seperti masih banyaknya unsur mitos yang dipakai dan terlalu fokus pada peristiwa politik juga tokoh sejarah. 

Historiografi moderen lebih menekankan pada peristiwa di luar politik, lebih kecil lingkupnya semisal, kehidupan sosial, ekonomi dan budaya pada masyarakat. Pendekatan multidimensional menjadi poin pembedanya. Artinya peristiwa sejarah tidak ditinjau dari perspektif sejarah saja, lebih dari itu digunakannya teori-teori ilmu sosial. 

Contoh Historiografo modern adalah Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirdjo.

Strategi Penulisan Historiografi.


Menurut Prof. A Daliman dalam bukunya Metode Penelitian Sejarah, dalam upayan mengeksiskan hasil penelitian sejarah, sejarawan setidaknya harus memperhatikan 5 hal sebagai berikut :
  1. Audiens / Pembaca yang ingin dituju
  2. Apa yang harus ditulis
  3. Bentuk atau kategori penulisan : deskriptif, naratif, dan analitik
  4. Gaya penulisan
  5. Struktur Penulisan dan Perangkat Ilmiah

Audiens / Pembaca yang ingin dituju


Menurut filsuf-filsuf retorik sejarah, Chaim Perelman dan L. Obrect Tyteca terdapat tiga audiens atau pembaca karya tulis sejarah. Audiens pertama adalah penulis karya tulis sejarah itu sendiri. Sejarawan harus mempertimbangkan motivasi, idealisme, serta aspirasinya untuk memperoleh kepuasan sendiri sebleum ia menyusun strategi penulisan karya sejarah untuk audiens selain dirinya.

Audiens kedua adalah mereka yang berada di dekat sejarawan itu sendiri, maksudnya rekan seprofesi (sejarawan lainnya), para mahasiswa, para insktruktor, dan para ahli sejarah. Sejarawan harus memiliki strategi penulisan yang berbeda dari karya sejarah lainnya yang sudah ada.

Audiens ketiga adalah audiens umum (universal audiens) yang terdiri dari mereka yang menaruh minat baca pada karya tulis sejarah. Sejarawan harus mampu menunjukkan jika karya tulis sejarah yang dibuatnya tahan terhadap perubahan serta perkembangan waktu dan kritik dari siapapun yang membacanya.

Apa yang Harus Ditulis


Sejarawan atau peneliti sejarah harus mampu menunjukkan mengapa justru penulisan yang ia susun adalah yang paling baik dan sesuai untuk karya tulis penelitiannya. Ada beberapa hal yang bisa digunakan sejarawan untuk memberikan fokus isi dari karya tulis sejarahnya :

  • Perbedaan perkembangan peristiwa pada masa lampau dan peristiwa yang sedang terjadi pada masa kini.
  • Melakukan revisi atau memperluas apa yang pernah atau telah diketahui tentang masa lampau.
  • Menerapkan metode-metode baru dalam penelitian dan analisa peristiwa sejarah
Sejarawan harus mampu mengetahui apa yang seharusnya tidak ditulis dan apa yang hendaknya diberikan penekanan serta bagian mana yang dibiarkan mendatar saja dalam karya tulis sejarahnya.

Naratif, Deskriptif, dan Analitik


Penulisan sejarah dapat dikembangkan melalui tiga kategori bentuk penulisan, ialah secara naratif, deskriptif dan yang sedang populer saat ini adalah analitik.

Model penulisan naratif dipergunakan untuk menceritakan suatu cerita dan alur peristiwa-peristiwa menurut sekuensi waktu. Keunggulan sejarah naratif adalah mudah digunakan untuk meyakinkan para audiens bahwa apa yang diceritakan bukan saja memang sungguh-sungguh terjadi, lebih dari itu seakan-akan peristiwa itu sedang terjadi.

Penulisan deskriptif berupaya menbentangkan masa lampau tanpa dengan memberikan dimensi perubahan-perubahan dalam waktu. Perbedaan antara naratif dan deskriptif terletak pada aksentuasinya, ialah bahwa pada yang pertama unsur waktu itu sendiri yang menjadi kerangka strukturnya. Maka naratif besifat kronologis.

Bentuk penulisan analitik lebih banyak dipergunakan oleh para sejarawan profesional. Penulisan analitik lebih diutamakan untuk menampilkan analisis dan solusi suatu masalah. Seperti halnya ilmu-ilmu lainnya, sejarawan analitik dapat menyajikan generalisasi, uji hipotesis dan kemudian mendiskusikan signifikansi historisnya dari hasil-hasil penelitian sejarah yang bersifat kuantitatif.

Gaya Penulisan


Penulisan sejarah hendaknya ditulis dalam gaya dan bahaasa resmi (formal). Dengan bahasa resmi tidak berarti harus muluk-muluk dan bergaya. 

Struktur Penulisan dan Perangkat Ilmiah


James Joyce dan Get rude Stan memberikan nasihat tentang menulis karya tulis sejarah yang baik dengan rumus Five Do 's (Lima Hendaknya) dan Four Don'ts (Empat Jangan).

Lima Hendaknya mempedomani penulisan sejarah sebagai berikut :
  • Konsisten
  • Sederhana
  • Spesifik, Konkret dan Tepat
  • Struktur yang Seimbang
  • Peralihan yang halus dan alami (natural)
Untuk menulis karya tulis sejarah yang baik perlu menjauhi "Empat Jangan" :

  • Jangan menggunakan bahasa tidak resmi
  • Jangan menggunakan kutipnan yang terlalu banyak
  • Jangan menggunakan kalimat pasif
  • Jangan menyalahgunakan bentuk-bentuk retorik
Demikian yang dapat saya bagikan kepada sobat tentang Historiografi : Pengertian, Perkembangan, Macam-Macamnya dan Strategi Penulisanya. Semoga bermanfaat dan terima kasih atas kunjungan di blog belajar sejarah ini.

Salam Historia!
LihatTutupKomentar