Perjuangan Danudirja Setiabudi (Ernest Douwes Dekker)

Hai Sobat sejarah, Apa yang ada dalam pikiran kalian jika mendengar nama Douwes Dekker? penulis buku berjudul Max Havelaar, orang Indo yang anti pemerintah kolonial, dan pastinya masih banyak lagi.

Nama Douwes Dekker ada hubungannya dengan postingan saya kali ini, karena saya ingin mengajak kalian mengenal salah satu pahlawan nasional berdarah campuran (Belanda-Indonesia) yang mencurahkan segenap kemampuan yag dimilikinya untuk membawa kehiduan kaum pribumi lebih baik. Baiklah langsung saja ikuti narasi sejarahnya di bawah ini :

Profil Singkat : 

Lahir : Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879

Wafat : Bandung, 28 Oktober 1950

Makam : TMP Cikutra, Bandung

Gelar Pahlawan : SK Presiden RI No. 590 / 1961



 

Keluarga Danudirja Setiabudi


Ernest Douwes Dekker lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada 8 Oktober 1879. Ia terlahir dari pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann (keturunan Indo dari ayah Jerman, Ibu Jawa) dan ia mempunyai 3 orang saudara kandung antara lain : 
  1. Adeline (Perempuan, kelahiran tahun 1876) 
  2. Julius (Laki-laki, kelahiran tahun 1878 di Surabaya)
  3. Guido (Laki-laki, kelahiran tahun 1883 di Batavia)
Ernest Francois Eugene Douwes Dekker adalah nama yang dipakainya dari kecil, sedangkan Nama Danudirja Setiabudi baru dipakai setelah Indonesia merdeka. Nama itu adalah pemberian Presiden Soekarno

Danu berarti banteng, Dirja berarti kuat dan tangguh, sementara Setiabudi mempunyai arti berbudi setia. Soekarno berkeinginan nama Danudirja dapat diabadikan sebagai singkatan dari DD menggantikan Douwes Dekker,

Pada masa sebelumnya juga dikenal seorang keturunan Belanda bernama Eduard Douwes Dekker atau Multatuli yang terkenal dengan kaya Max Havelaar (1860). Sesungguhnya keduanya adalah orang yang berbeda namun keduanya masih memiliki ikatan keluarga.

Ikatan keluarga itu berasal dari ayah Danudirja yang merupakan keponakan dari Eduard Douwes Dekker, seseorang yang dikenal berani mengkritisi pemerintah kolonial Belanda.

Semasa hidupnya Danudirja pernah melakukan pernikahan sebanyak 3 kali. Pernikahan pertamanya dilalui bersama dengan Clara Charlotte Deije (1895-1968), anak dokter campuran Jerman-Belnada pada tahun 1903.

Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai 5 orang anak namun kedua anak laki-lakinya meninggal saat masih bayi. Pernikahan ini berakhir pada tahun 1919 disaat keduanya sepakat untuk bercerai.

Selanjutnya ia menikahi Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi pada tahun 1927. Selama pernikahannya ini, mereka tidak memiliki anak. Johanna nantinya yang membantu Danudirja mengelola Ksatrian Instituut.

Saat Danudirja diasingkan ke Suriname (1941), Johanna menikah lagi dengan Djafar Kartodiredjo, meski tanpa perceraian resmi. Tidak diketahuai apakah Danudirja mengetahui pernikahan istirnya itu karena di tempat pengasingannya ia tetap mengirimkan surat kepada istirnya meski tidak pernah dibalas.

Ketika Danudirja berhasil kabur dari Suriname dan sementara menetap di Belanda, ia dirawat oleh Nelly Alberta Geertzema, janda beranak satu. Bersama dengan Nelly, ia pulang kembali ke Indonesia dengan menggunakan nama samaran yaitu Danudirja Setiabudi dan Haroemi Wanasita.

Saat berada di Indonesia, ia baru mengetahui jika Johanna telah menikah lagi dan pada tahun 1947, ia memutuskan untuk menikahi Nelly. Setelah wafatnya Danudirja, Nelly menikah kembali dengan Wayne E. Evans di tahun 1964 dan menetap di Amerika Serikat.

Pendidikan dan Pekerjaan awal Danudirja Setiabudi

Ayahnya yang berprofesi sebagai pialang bursa efek serta agen bank membuat kehidupan dia dan keluarganya sering berpindah-pindah tempat. Hal ini juga berimbas pada pendidikan yang diperolehnya.

Awalnya ia bersekolah di Europeesche Lagare School (ELS) Batavia, setingkat sekolah dasar khusus untuk masyarakat Eropa dan keturuan eropa di Hindia Belanda. Saat masih bersekolah di ELS inilah dirinya mengenal sosok Multatuli melalui karyanya yaitu Max Havelaar dan menginspirasi dirinya untuk menjadi seorang penulis di kemudian hari. 

Pada tahun 1892, Keluarga Danudirja berpindah ke Surabaya dan meneruskan pendidikannya di Hogere Burger School (HBS) bersama kakaknya Julius. Ia dan kakaknya terdaftar sebagai siswa kelas pertama dengan nomer induk 574 dan 573.

Setahun kemudian ia dan keluarganya kembali ke Batavia pada tahun 1893. Danudirja meneruskan pendidikannya di HBS Gymnasium Koning Willem III, sekolah yang berada di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.

Danudirja Setiabudi dalam Perangko

Selama menempuh pendidikan di Gymnasium, ia mulai mengasah bakatnya sebagai seorang penulis. Saat usianya yang baru 14 tahun, ia mampu menulis buku Gedenkboek van Lombok.

Setelah lulus dari HBS pada tahun 1898, ia tidak langsung melanjutkan pendidikannya di tingkat universitas dikarenakan pada waktu itu di Hindia Belanda belum ada sekolah setingkat perguruan tinggi dan bagi mereka yang ingin meneruskan pendidikan harus pergi ke luar Hindia Belanda.

Kondisi itu ditambah dengan keuangan keluarganya yang tidak mencukupi untuk membiayai pendidikannya di tingkat perguruan tinggi.

Danudirja mendapatkan pekerjaan pertamanya di perkebunan kopi “Soember Doerene di Malang, Jawa Timur. Suatu waktu ia pernah melihat seorang buruh diperlakukan kasar oleh orang Belanda dan ia berusaha membelanya. Karena tindakannya ini, ia mulai dibenci oleh rekan-rekan kerjanya.

Tak jarang ia terlibat konfilik dengan managernya dan membuatnya dipindahkan ke perkebunan tebu
Padjarakan di Kraksaan sebagai laboran. Hukuman itu tidak membuatnya merubah sikapnya hingga ia akhirnya di pecat dari pekerjaannya.

Kematian mendadak ibunya ditambah kondisinya sebagai pengangguran membuat Danudirja memutuskan untuk berpetualang dan menjadi sukarelawan di luar negeri.

Saat berada di luar negeri ia juga sempat mengikuti perang Boer (1889) membantu penduduk Afrika untuk melawan Inggris. Karena keterlibatnnya ini, Danudirja kehilangan status kewarganegaraanya sebagai orang Belanda. Namun Perang Boer menginspirasinya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalu jalur politik.

Perjuangan di bidang Jurnalistik hingga Politik

Danudirja kembali ke Hindia Belanda pada tanggal 1902. Ia menjadi reporter koran Seamrang terkemukan. De Locomotief di bawah pimpinan P. Brooschoft. Ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi.

Danudirja melanjutkannya karirnya di bidang jurnalistik dengan bergabung dengan Soerabaiasch Handelsblad. Kemudian ia juga menjadi salah satu staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad.

Pengalamnnya di Bataviaasch Nieuwsblad, membuat Danudirja mendirikan surat kabar miliknya sendiri yaitu majalah Tijdschrift yang nantinya berganti nama menjadi majalah De Express 

Danudirja paham jika bidang jurnalistik dapat dijadikan sebagai alat perjuangannya melawan pemerintah kolonial Belanda sehingga selama berprofesi sebagai wartawan, ia seringkali membuat tulisan-tulisannya yang pro terhadap kaum Indo dan pribumi. Hal ini membuatnya masuk daftar orang yang ada dalam radar intelijen pemerintah kolonial.

Selain keaktifannya dalam bidang jurnalistik, ia juga menggunakan rumahnya untuk tempat berkumpul dan berdiskusi para perintis gerakan kebangkitan nasional seperti Soetomo dan Cipto Mangunkusumo (pelajar STOVIA). Ia juga memberikan bantuan untuk berdiri organisasi Budi Utomo.

Baca Juga : Ki Hajar Dewantara - Sang Bapak Pendidikan Indonesia

Lahirnya Indische Partij

Pergerakan organisasi Budi Utomo yang hanya terbatas pendidikan dan kebudayaan tidak terlalu menarik bagi Danudirja sehingga ia tidak terlalu banyak terlibat di dalamnya.

Bermodalkan sikap benci karena adanya diskrimanasi untuk orang indo dalam kehidupan sehari-hari oleh pemerintah kolonial Belanda, Danudirja berusaha memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri dalam Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiers) tanpa ada batasan ras dan suku

Padangan ini sangat unik dan baru dikarenakan pada waktu orang-orang masih berjuang untuk ras atau sukunya masing-masing

Idenya semula disampaikan melalui organisasi kaum indo yaitu Indische Bond dan Insulinde.
Namun idenya hanya diterima dengan baik oleh segelintir orang saja. Sedangkan lainnya lebih memilih untuk berstatus quo.

Danudirja Setiabudi dalam Tiga Serangkai
Merasa tak puas dengan pencapaiannya baik di Indische Bond ataupun Insulinde, mendorong
Danudirja bersama dengan Soewardi Soeryaningrat dan Cipto Mangunkusumo, mereka mendirikan organisasi politik Indische Partij (Partai Hindia).

Kerjasama ketiganya demi pergerakan kemerdekaan Indonesia nantinya lebih dikenal dengan sebutan ‘Tiga Serangkai’.

Dalam waktu singkat, Indische Partij telah memiliki anggota sekitar 5000 orang. Hal ini dikarenakan Indische Partij diterima baik oleh orang Indo, tionghoa dan pribumi.

Perjuangan Status Hukum untuk Indische Partij

Pada tanggal 25 Desember 1912, pimpinan Indische Partij (Danudirja, Soewardi, dan Tjipto) berangkat menuju Istana Bogor. Tujuannya adalah agar Indische Partij mendapatkan pengakuan dari pemerintaha kolonial Belanda.

Hal ini sangat penting agar Indische Partij tidak dicurigai sebagai perkumpulan liar dan meresahkan masyarakat.

Pengajuan pengakuan status badan hukum dari Danudirja diterima oleh pemerintah kolonial namun masih harus ditinjau ulang untuk persetujuannya. Untuk memberi jawaban, Gubernur Jendral Idenburg mengutus Dr. G.H.J Hazeu dan D.A Rinkes untuk membuat laporan tentang tujuan Indische Partij, pengaruhnya di masyarakat hingga latar belakang pimpinananya.

Pada tanggal 4 Maret 1913, Gubernur Jendaral Idenburg secara resmi menolak pengajuan pengakuan status badan hukum Indische Partij yang diajukan Danudirja dan kawan-kawan dengan mengacu pada peraturan pemerintah tahun 1854.

Tanggal 5 Maret 1913, Danudirja bersama pimpinan Indische Partij lainnya mengadakan pembicaraan mengenai langka lanjut yang harus ditempuh dan menghasilkan keputusan untuk merubah anggaran dasar Indische Partij. 

Setelah itu Danudirja menghadap Gubernur Jendral Idenburg untuk mengajukan kembali pengakuan status hukum Indische Partij, namun pada tanggal 11 Maret 1913 pemerintah kolonial Belanda mengerlukan keputusannya tetap menolak status hukum Indische Partij.

Pertimbangan penolakan itu disampaikan oleh pemerintah kolonial bahwa dengan dirubahnya anggaran dasar Indische Partij tidak serta merta langsung merubah dasar dan jiwa organisasi.

Para pemimpin Indische Partij tidak patah semangat. Mereka terus mencoba kemungkinan berdialog dengan Gubernur Jendral Idenburg demi pendiriannya pengakuan statu badan hukum Indische Partij. Namun untuk kali ketiga pemerintah kolonial Belanda tetap permohonan pimpinan Indische Partij.

Pada tanggal 31 Maret 1913 pimpinan pusat Indische Partij menyatakan pembubaran partai. Hal ini adalah buntut dari kegagalan pengakuan status badan hukum dari pemerintah kolonial. Untuk menjaga asa perjuangan, para pimpinan menyarankan para anggotanya untuk bergabung ke organisasi Insulinde.

Kegagalan Perjuangan Danudirja di Ranah Politik

Bergabungnya Danudirja, Tjipto dan Soewardi ke dalam Insulinde memperkokoh perjuangan dalam bidang politik. Pada tahun 1919 Insulinde berubah nama menjadi Nationaal Indische Partij yang diketuai oleh Soewardi.

Sebenarnya asas dan tujuan Insulinde memiliki kesamaan dengan Indische Partij, namun pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak pernah memberikan peringatan. Masuknya Tiga Serangkai ke dalam Insulinde turut mengubah pandangan pemerintah kolonial Belanda terhadapnya.

Sesungguhnya kekhawatiran pemerintah kolonial bukanlah pada asas dan tujuan Insulinde, namun lebih kepada tiga serangkai yang telah masuk kedalam Insulinde. Ketiganya dianggap telah membawa pengaruh ke dalam Insulinde untuk menjalankan politik kontra pemerintah atau anti kolonial.

Pada tahun 1921 akhirnya pemerintah kolonial resmi membubarkan Nationaal Indische Partij yang dianggap membahayakan dan menggangu ketertiban umum.

Perjuangan yang berubah haluan

Setelah Nationaal Indische Partij dibubarkan, Danudirja meninggalkan Semarang menuju Cibadak. Ia mulai beternak ayam untuk membiayai kehidupannya sendiri.

Di usia yang tidak lagi muda membuat Danudirja mengubah jalur perjuangannya dari ranah politik menuju pendidikan.
Danudirja Setiabudi dan Istrinya
Diskriminasi pendidikan oleh pemerintah kolonial kepada kaum pribumi masih terus berjalan. Hal inilah yang membuat Danudirja tergerak untuk mempropagandakan sebuah pemikiran dan pembelajaran tentang makna nasionalisme untuk tujuan akhir yaitu Hindia Belanda memperoleh kemerdekaan melalui perjuangan yang tidak mudah.

Pada tahun 1923 muncul Institut Pengajaran Priangan dan perkumpulan pengajaran rakyat di Bandung.

Danudirja siap mengabadikan jiwa dan raga untuk kemajuan pendidikan di Hindia Belanda. Hal ini terbukti sejak November 1924, lembaga Priangan diubah menjadi yayaan yang bernama School Vereeniging Het Kesatrian Instituut atau sering disingkat Kesatrian Institut.

Jabatan ketua yayasan dipegang oleh Danudirja dan istrinya bertindak sebagai Sekretaris. Pada mulanya sekolah sekolah Ksatrian hanya berupa sekolah dasar yang sederhana dengan tujuan memberikan kesempatan belajar yang lebih baik bagi rakyat Hindia Belanda.

Pada Januari 1941 Danudirja ditangkap dan ditahan di Ngawi dengan tuduhan menjadi kaki tangan Jepang. Hal ini disebabkan adanya rencana pengiriman pelajar lulusan sekolah Ksatrian ke Jepang. Tuduhan itu hanya alasan yang dicari-cari oleh pemerintah kolonial untuk menangkapnya.

Penangkapan Danudirja membuat kepemimpinan Ksatrian Institut terombang-ambing hingga pada bulan Februari 1941, Danudirja membuat surat kuasa yang isinya memberikan kekuasaan penuh kepada istrinya untuk menjaga kelangsungan hidup sekolah Ksatrian.

Kehidupan setelah kemerdekaan Indonesia

Setelah proklamasi kemerdekaan, Setiabudi kembali ke Indonesia dan turut dalam perjuangan kemerdekaan. Ia ditangkap dan dipenjarakan kembali oleh Belanda.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiabudi dibebaskan dan bermukim di Kota Bandung hingga di ujung usianya.



Demikianlah narasi sejarah singkat tentang Perjuangan Danudirja Setiabudi (Ernest Douwes Dekker) yang dapat saya bagikan kepada sobat Sejarah. Semoga bermanfaat dan teruslah belajar sejarah.

Salam Historia
LihatTutupKomentar